“Qasima,
mari kesini.. Ada ashir ashab dari
tetangga sebelah,” panggil Hamra dari ruang tengah.
“Iya..”
Aku
menutup jendela kamar, lalu beranjak ke ruang tengah. Bergabung bersama Hamra
dan Bazlaa.
Setelah
kenyang minum ashir ashab, aku langsung menuju ke kamar. Sedangkan Bazlaa dan
Hamra masih asyik dengan obrolan mereka. Aku mengambil scrap book milikku di atas meja belajar. Membuka lembar demi
lembar, tersenyum, membuka lagi, tersenyum lagi, begitu seterusnya. Setiap
melihat fotoku dengannya, aku selalu tersenyum. Begitu indah kenangan itu.
###
Pertengahan
Shafar, aku kembali ke Indonesia. Bau semerbak tanah desaku memenuhi rongga dada.
Sawah-sawah telah menguning seperti permadani emas yang terbentang di atas
tanah. Aku rindu Indonesia, rindu desaku, rindu keluargaku, juga rindu dia. Ketika
kakiku menginjak pekarangan rumah, orang yang pertama kali kulihat adalah dia.
Ya, dia dan senyumnya yang menawan.
“Hai,
Mas.” aku mencium tangannya.
“Jauh-jauh
dari Cairo, nyapanya kok pakek ‘Hai’.”
Aku
nyengir.
“Assalamualaikum,
Mas.”
“Waalaikumussalam,”
“Kok
makin kurus? Nggak pernah dapet makan ya di sana?”
Aku
tertawa pelan. Dia masih seperti dulu,
“Diet,
Mas.” ucapku ala kadarnya. Dia mengacak jilbabku, lalu mencium ubun-ubunku.
“Mas, malu ah. Ini kan di luar.” ucapku. Dia malah tertawa.
“Sudah
sana masuk, abah sama emak di dalam.”
Aku
mengangguk, lalu segera masuk ke dalam rumah.
Ia
tidak banyak berubah. Hanya wajahnya sedikit terlihat lebih gelap dari terakhir
kali aku melihatnya. Empat tahun yang lalu. Aku melepas sepatuku, lalu
menaruhnya di rak sepatu. Rak sepatu inipun masih sama. Ruang tamu di hadapanku
pun tak berubah. Rasanya seperti hanya beberapa minggu saja aku meninggalkan rumah.
Tak ada tambahan foto yang digantung di dinding, tak ada barang apapun yang
bertambah di bufet, tak juga vas bunga yang ada di atas meja tamu.
“Loh, Nduk.. Kok berdiri tok? Nggak mau masuk ke dalam?” tegur
emak yang sudah berdiri di samping bufet sambil membawa baskom besar. Aku
terkejut. Emak... Aku langsung
berlari ke arahnya. Memeluknya, menciumi pipi, kening, dan tangannya
berulang-ulang. Mataku berair.
“Kangen
Emak...”
Emak mengangkat wajahku, menatap
mataku, lalu mengusap air mataku.
“Emak juga, Nduk..”
###
BRAAKKK!!!
Pintu
rumah didobrak. Waktu itu aku sedang tilawah. Buru-buru kuletakkan Al-Qur’an
yang belum selesai kubaca itu di atas meja belajar. Langsung kuhampiri ruang
tamu. Rupanya emak sudah ada di sana.
“Ya
Allah Qasim... Kamu minum-minum lagi, Nak?”
Emak
mengelus dada. Lagi-lagi aku dibuat terkejut. Dia? Minum-minum? Kakiku lemas
seketika. Aku terduduk di lantai. Emak menoleh ke belakang, melihatku.
“Masuk
kamar, Nduk. Masuk!”
Emak
membantuku berdiri. Aku kembali ke kamar tanpa bertanya apapun. Pikiranku
berkecamuk. Ada apa denganmu, Mas?
Sayup-sayup kudengar suara emak dan suaranya bersahutan. Kupikir dia masih
seperti dulu. Rajin mengajar ngaji anak-anak kampung di surau, menjadi khatib
ketika shalat jumat, menjadi muadzin, menjadi imam bila Kiai Dalhar tak hadir
di masjid, dan menjadi guru les privat ngaji untuk anak-anak kota. Dan yang
utama, menjadi mbarep kebanggaan abah
dan emak. Dan kebanggaanku.
###
“Mak,
sejak kapan Mas Qasim minum-minum?” tanyaku ketika aku membantu emak menyiapkan
sarapan. Emak diam. Mungkin, mengingat-ingat awal mula kejadiannya.
“Sebulan
yang lalu, awal Muharram.”
Tanpa
diminta, emak menceritakan detail kejadiannya. Dari ketika Qasim melamar putri
Kiai Dalhar tapi ditolak, lalu hampir bunuh diri, hingga akhirnya dilampiaskan
pada minum arak. Dia tidak merokok maupun berjudi. Hanya minum. Aku sedih
mendengar cerita emak. Mas Qasimku yang
dulu kemana, Ya Allah?
“Sabar
ya, Mak.. Kenapa Emak nggak pernah cerita ke Ima lewat surat?”
Emak
menggeleng.
“Emak
nggak mungkin nambahin beban pikiranmu, Ima.”
Aku
menggenggam tangan emak.
“Masalah
keluarga kan masalahku juga, Mak.”
“Sudahlah,
Nduk. Sudah terjadi.”
“Lain
kali, Emak harus cerita. Apapun yang terjadi.”
Akhirnya
emak mengangguk juga. “Insya Allah.”
###
Qasim
Hulwan dan Qasima Hulwan. Anak kembar yang lahir di Desa Pucangan, Kartasura.
Qasima itu aku, dan Qasim itu masku. Di mana-mana, aku selalu bersama dia. Kami
satu, dan tak pernah terpisahkan. Hingga waktu itu tiba...
Saat
itu umurku baru delapan belas tahun, baru saja lulus SMA. Qasim juga. Sejak SD,
SMP, dan SMA kami selalu satu sekolah. Kembar identik yang berprestasi, begitu
julukan para guru pada kami. Lulus SMA, ingin lanjut kemana? Hanya itu yang ada
di dalam benakku dan dia.
Siang
itu, Pakde Darman datang berkunjung. Menawarkan beasiswa ke Universitas
Al-Azhar, Cairo. Aku tidak tertarik tapi Qasim sangat tertarik. Dia ingin
sekali mendapatkan beasiswa itu. Sayangnya, kata pakde beasiswa itu hanya untuk
calon mahasiswi, bukan calon mahasiswa. Artinya, aku yang akan didaftarkan
beasiswa itu. Qasim kecewa, dia sedih mendengarnya. Aku menghiburnya dengan
membantunya mencarikan jalur lain agar ia bisa kuliah di tempat yang sama
denganku. Tapi, hingga aku selesai tes untuk masuk universitas pun kami tak
kunjung dapat. Jika ingin jalur mandiri, abah dan emak tidak sanggup membiayai.
Akhirnya, Qasim memutuskan untuk tidak kuliah. Ujung-ujungnya, dia menjadi guru
ngaji di kampung. Cerita setelahnya, aku tidak tau karena sudah terbang ke
Cairo.
Aku
pikir dia baik-baik saja ketika kutinggal ke Cairo. Tapi ternyata, banyak
perubahan yang dia alami, tapi tak pernah kuketahui. Bahkan, dia sampai sudah
berani melamar anak Kiai. Aku jadi merasa bersalah padanya. Andai dulu aku
berusaha keras mencarikannya beasiswa ke Cairo, dia tak mungkin minum-minum
seperti ini. Andai aku selalu mengirim surat tiap bulan, aku pasti tau
kondisinya selama ini. Andai tiap dua tahun sekali kusempatkan untuk pulang ke
tanah air, tak akan pernah kubiarkan dia kehilangan semangat hidupnya. Ah, tapi
apa gunanya berandai-andai. Toh tak mendatangkan keajaiban.
###
Sore
itu, di akhir bulan Rabiul Awal. Aku sedang menyiram tanaman di halaman depan
rumah. Emak dan abah sama-sama pecinta tanaman. Abah juga terkenal sebagai
kolektor tanaman hias. Banyak orang-orang kota datang untuk melihat dan ingin
membeli. Dari hobi turun ke bisnis, kata abah.
Kreeekkk...
Pagar
kayu setinggi seratus senti meter itu terbuka. Mas Qasim pulang dengan wajah
lebam. Dia pura-pura tak melihatku, dan langsung masuk ke dalam rumah. Aku
segera mematikan kran, menunda aktifitasku. Kuhampiri dia yang sedang tiduran
di kursi tamu sambil memegang wajahnya. Melihat lebam di pipi dan pelipisnya,
tanpa berkata apapun aku segera menyiapkan kompres air hangat untuknya. Aku
mengompres lukanya pelan-pelan. Dia terus mengaduh kesakitan.
“Kamu
habis ngapain lagi to, Mas?” tanyaku
lembut.
“Berantemlah.
Kamu nggak liat luka-luka ini, ha?” ujarnya kasar. Untung saja emak dan abah
pergi pengajian. Kalau tidak, ruang ini akan jadi ruang adu mulut.
“Mas
nggak pingin kayak dulu lagi? Ngajar ngaji, jadi imam..”
PLAK!
Aku
tersentak. Pipiku ditampar! Aku menghentikan aktifitasku mengompres Qasim.
Kusentuh pipiku, panas. Keras sekali tamparannya tadi padaku. Seumur-umur, baru
kali ini aku ditampar. Bahkan emak maupun abah tidak pernah menamparku.
“Jangan
pernah ungkit-ungkit masa laluku di depanku! Inget itu, Ima!” bentaknya lalu bangkit
dari kursi, melempar kompres itu ke wajahku lalu pergi. Aku diam, menangis
dalam hati. Tak tau apa yang harus kulakukan. Sudah sebulan aku di rumah, tapi
aku belum juga terbiasa dengan sifatnya yang berubah drastis. Ya Allah, kembalikan Mas Qasimku yang
dulu... doaku sendu.
###
Suatu
hari di bulan Rabiul Akhir. Ketika aku akan pergi untuk mengajar ngaji, aku
mengintip kamar Qasim. Aku sempat terkejut melihatnya sedang membuka-buka scrap book milikku. Dapat dari mana
dia? Hanya itu yang kupikirkan selama perjalanan menuju surau.
“Mbak
Ima!!” teriak anak-anak menyambutku di depan pintu surau. Aku tersenyum.
“Assalamualaikum,”
sapaku hangat pada mereka.
“Waalaikumussalam..”
mereka berebut mencium tanganku.
“Udah-udah,
ayo masuk.”
Aku
membimbing mereka masuk ke dalam surau. Sebelum aku masuk, kulihat sekilas ada
bayangan di balik pohon. Tapi kutepiskan pikiran aneh itu.
###
Malamnya,
aku mengendap-endap ke kamar Qasim. Ingin kuambil kembali scrap book milikku. Untung waktu itu dia sedang tidak di kamar.
Kutelusuri seluruh penjuru kamarnya. Foto-fotonya yang dulu biasa digantungkan
di dinding kamarnya sudah disembunyikannya entah di mana. Ah itu dia... Aku mengambil scrap
book milikku yang tergeletak di atas bantalnya. Tanpa melihat-lihat kamarnya
lagi lebih lama, aku segera berjingkat keluar.
“Ngapain
kamu di dalem?” tanya Qasim ketika aku menutup pintu kamarnya. Deg! Aduh, ketahuan... Aku diam tak berani membalikkan badan.
“Maaf...”
ucapku pelan. Sangat pelan.
Tangan
kekar itu membalikkan badanku. Aku menunduk, tak berani memandangnya. Tangannya
melayang ke atas. Aku memegangi pipiku, takut ditampar lagi. Qasim malah
tertawa, lalu mengacak rambutku.
“Lain
kali ijin dulu ya, adek manis.”
Ujarnya,
lalu masuk kamar dan menutup pintunya. Aku diam. Tertegun, masih tidak percaya.
Apa benar tadi Mas Qasim? Ah!
Kutepiskan pikiran anehku. Buru-buru kulangkahkan kakiku ke kamar.
###
Di
penghujung Ramadhan, aku dan Qasim berjalan-jalan di pematang sawah. Kami berbagi
cerita, bertukar lelucon, berlari-larian. Hh.. senangnya. Lelah bermain, kami beristirahat
di gubuk. Aku duduk sambil mengayun-ayunkan kakiku. Dia duduk di sampingku, sambil
menatap indahnya langit senja.
“Sudah
hari terakir Ramadhan, Dek.”
“Iya,
Mas.”
“Rasanya,
kepompongku sudah hampir terbuka.”
“Jadi
kupu-kupu deh.”
Dia
tertawa.
“Hh..
Dulu aku ulat jelek dan menjijikkan. Untung Allah masih sayang sama aku, ya.
Dari kembaranku ini...” dia mengelus kepalaku. “Aku diberi hidayah olehNya,”
Aku
tersenyum.
“Itu
juga dari niatan mas sendiri, kan.. Aku cuman perantara.”
Aku
menyandarkan kepalaku di bahunya.
Alhamdulillah,
di penghujung Ramadhan ini aku menemukan sosok masku yang dulu. Mas yang selalu
membuat abah, emak, dan aku bangga. Jangan
pergi lagi, Mas.. pintaku dalam hati.
###
Welcome Muharram, Good Bye Dzulhijjah. Aku sedang membaca diary milik Qasim. Dia memang hobi menulis sejak kelas tiga SD.
Tulisannya rapi seperti tulisan perempuan.
12 Rabiul Awal, Kartasura.
Aku mengambil scrap book milik Ima. Entah kenapa, waktu aku masuk kamarnya yang
kuambil buku itu. Padahal tujuanku mengambil uang dalam dompetnya.
Di kamar, kubuka buku itu. Ada banyak
fotoku di sana. Melihat foto-foto itu, aku seperti melihat orang asing. Dan
bukan diriku. Batin dan pikiranku berkecamuk.
Itu aku, kupu-kupu indah yang sekarang
berubah menjadi ulat kecil nan menjijikkan.
Aku
membuka kertas yang lain.
29 Rabiul Akhir, Kartasura.
Aku sering diam-diam mengikuti Ima
mengajar ngaji di surau. Dia benar-benar terlihat seperti aku. Wajahnya teduh
nan bercahaya. Seperti aku yang dulu, bukan yang sekarang.
Aku ingin kembali seperti dulu. Aku
ingin kembali padaMu, Allah.
Aku
tersenyum membacanya. Jadi sejak itu dia
selalu mengikutiku? Ternyata bayangan di balik pohon itu dia. Aku membuka
bagian akhir diary.
30 Sya’ban, Kartasura.
Sebentar lagi Ramadhan. Aku harus bisa
kembali menjadi kupu-kupu. Setelah menjadi ulat, aku harus menjadi kepompong
dulu supaya bisa menjadi kupu-kupu. Bantu aku, Ya Allah..
1 Dzulqaidah, Kartasura.
Mimpi yang indah. Aku bermimpi mencium
bau surga.
10 Dzulqaidah, Kartasura.
Mimpi yang indah. Lagi. Mencium bau
surga. Bunga kesturi di mana-mana.
15 Dzulqaidah, Kartasura.
Pertandakah ini? Belakangan ini aku
jadi lebih rajin pergi ke surau, mengaji dengan Kiai Dalhar, membantu emak dan
abah, juga lebih sayang pada Ima. Bukankah orang-orang sholih juga merasakan
tandanya? Tapi siapa aku? Aku bukanlah golongan dari mereka.
Aku
menutup buku itu. Menghembuskan nafas panjang.
Wahai Tuhan pemilik ampunan, ampuni
segala dosaku, dosa kedua orangtuaku, dan dosa saudaraku. Terimalah segala
amalnya dan tempatkanlah ia di sisiMu, Ya Allah. Aamiiin.. doaku dalam hati.
###
Tepat
tanggal sepuluh Dzulqaidah, kami para jamaah sholat idhul adha adalah saksi
syahidnya Qasim Hulwan bin Abu Marwan. Air mata kami tumpah ketika melihat
sosoknya kaku tak bergerak dalam keadaan sujud. Subhanallah. Aku tak tau,
tangis sedih, bahagia, atau bangga untuknya. Tapi yang pasti, aku bangga karena
dia khusnul khotimah.
Satu
abad sama dengan seratus tahun. Satu dasawarsa sama dengan dua belas tahun. Satu
dekade sama dengan sepuluh tahun. Satu windu sama dengan delapan tahun. Satu
tahun sama dengan dua belas bulan. Dan tiap tahunku bersamamu adalah hal
terindah untukku.
Aku
merebahkan tubuhku di rerumputan, tempat anak-anak kampung biasa menggembalakan
kambing mereka. Aku sendiri menatap langit malam. Langit malam tanpa bintang.
Bulanpun turut bersembunyi di balik awan. Malam yang dingin di awal tahun
Hijriah.
“Sudah
awal Muharram, Mas. Aku ingin kau di sini bersamaku. Menghabiskan tahun Hijriah
dengan suka cita. Banyak hari yang belum kita lalui bersama. Kembalilah, Mas.
Maka tak akan ada lagi Hijriahku tanpamu,”
Aku
mencium fotonya, kupandangi terus, dan berharap agar dia bisa kembali ke
sisiku. Lagi.
Amalia Hanifah L, XII-2
Juara 1 Cerpen 'Muharram Awesome'