Hijriah Bersamamu

Malam itu, awal bulan Muharram. Aku masih di Cairo. Masih memandang langit yang sama, bintang yang sama, dan purnama yang sama seperti kemarin. Hanya saja, suasana malam ini lebih sepi, karena beberapa teman satu flatku sudah ada yang pulang ke tanah air mereka masing-masing. Tinggal Hamra, Bazlaa, dan aku. Kami semua adalah mahasiswi Universitas Al-Azhar S1 semester akhir.
“Qasima, mari kesini.. Ada ashir ashab dari tetangga sebelah,” panggil Hamra dari ruang tengah.
“Iya..”
Aku menutup jendela kamar, lalu beranjak ke ruang tengah. Bergabung bersama Hamra dan Bazlaa.
Setelah kenyang minum ashir ashab, aku langsung menuju ke kamar. Sedangkan Bazlaa dan Hamra masih asyik dengan obrolan mereka. Aku mengambil scrap book milikku di atas meja belajar. Membuka lembar demi lembar, tersenyum, membuka lagi, tersenyum lagi, begitu seterusnya. Setiap melihat fotoku dengannya, aku selalu tersenyum. Begitu indah kenangan itu.
                                                            ###
Pertengahan Shafar, aku kembali ke Indonesia. Bau semerbak tanah desaku memenuhi rongga dada. Sawah-sawah telah menguning seperti permadani emas yang terbentang di atas tanah. Aku rindu Indonesia, rindu desaku, rindu keluargaku, juga rindu dia. Ketika kakiku menginjak pekarangan rumah, orang yang pertama kali kulihat adalah dia. Ya, dia dan senyumnya yang menawan.
“Hai, Mas.” aku mencium tangannya.
“Jauh-jauh dari Cairo, nyapanya kok pakek ‘Hai’.”
Aku nyengir.
“Assalamualaikum, Mas.”
“Waalaikumussalam,”
“Kok makin kurus? Nggak pernah dapet makan ya di sana?”
Aku tertawa pelan. Dia masih seperti dulu,
“Diet, Mas.” ucapku ala kadarnya. Dia mengacak jilbabku, lalu mencium ubun-ubunku. “Mas, malu ah. Ini kan di luar.” ucapku. Dia malah tertawa.
“Sudah sana masuk, abah sama emak di dalam.”
Aku mengangguk, lalu segera masuk ke dalam rumah.
Ia tidak banyak berubah. Hanya wajahnya sedikit terlihat lebih gelap dari terakhir kali aku melihatnya. Empat tahun yang lalu. Aku melepas sepatuku, lalu menaruhnya di rak sepatu. Rak sepatu inipun masih sama. Ruang tamu di hadapanku pun tak berubah. Rasanya seperti hanya beberapa minggu saja aku meninggalkan rumah. Tak ada tambahan foto yang digantung di dinding, tak ada barang apapun yang bertambah di bufet, tak juga vas bunga yang ada di atas meja tamu.
“Loh, Nduk.. Kok berdiri tok? Nggak mau masuk ke dalam?” tegur emak yang sudah berdiri di samping bufet sambil membawa baskom besar. Aku terkejut. Emak... Aku langsung berlari ke arahnya. Memeluknya, menciumi pipi, kening, dan tangannya berulang-ulang. Mataku berair.
“Kangen Emak...”
            Emak mengangkat wajahku, menatap mataku, lalu mengusap air mataku.
“Emak juga, Nduk..”
                                                            ###
BRAAKKK!!!
Pintu rumah didobrak. Waktu itu aku sedang tilawah. Buru-buru kuletakkan Al-Qur’an yang belum selesai kubaca itu di atas meja belajar. Langsung kuhampiri ruang tamu. Rupanya emak sudah ada di sana.
“Ya Allah Qasim... Kamu minum-minum lagi, Nak?”
Emak mengelus dada. Lagi-lagi aku dibuat terkejut. Dia? Minum-minum? Kakiku lemas seketika. Aku terduduk di lantai. Emak menoleh ke belakang, melihatku.
“Masuk kamar, Nduk. Masuk!”
Emak membantuku berdiri. Aku kembali ke kamar tanpa bertanya apapun. Pikiranku berkecamuk. Ada apa denganmu, Mas? Sayup-sayup kudengar suara emak dan suaranya bersahutan. Kupikir dia masih seperti dulu. Rajin mengajar ngaji anak-anak kampung di surau, menjadi khatib ketika shalat jumat, menjadi muadzin, menjadi imam bila Kiai Dalhar tak hadir di masjid, dan menjadi guru les privat ngaji untuk anak-anak kota. Dan yang utama, menjadi mbarep kebanggaan abah dan emak. Dan kebanggaanku.
                                                            ###
“Mak, sejak kapan Mas Qasim minum-minum?” tanyaku ketika aku membantu emak menyiapkan sarapan. Emak diam. Mungkin, mengingat-ingat awal mula kejadiannya.
“Sebulan yang lalu, awal Muharram.”
Tanpa diminta, emak menceritakan detail kejadiannya. Dari ketika Qasim melamar putri Kiai Dalhar tapi ditolak, lalu hampir bunuh diri, hingga akhirnya dilampiaskan pada minum arak. Dia tidak merokok maupun berjudi. Hanya minum. Aku sedih mendengar cerita emak. Mas Qasimku yang dulu kemana, Ya Allah?
“Sabar ya, Mak.. Kenapa Emak nggak pernah cerita ke Ima lewat surat?”
Emak menggeleng.
“Emak nggak mungkin nambahin beban pikiranmu, Ima.”
Aku menggenggam tangan emak.
“Masalah keluarga kan masalahku juga, Mak.”
“Sudahlah, Nduk. Sudah terjadi.”
“Lain kali, Emak harus cerita. Apapun yang terjadi.”
Akhirnya emak mengangguk juga. “Insya Allah.”
                                                            ###                                         
Qasim Hulwan dan Qasima Hulwan. Anak kembar yang lahir di Desa Pucangan, Kartasura. Qasima itu aku, dan Qasim itu masku. Di mana-mana, aku selalu bersama dia. Kami satu, dan tak pernah terpisahkan. Hingga waktu itu tiba...
Saat itu umurku baru delapan belas tahun, baru saja lulus SMA. Qasim juga. Sejak SD, SMP, dan SMA kami selalu satu sekolah. Kembar identik yang berprestasi, begitu julukan para guru pada kami. Lulus SMA, ingin lanjut kemana? Hanya itu yang ada di dalam benakku dan dia.
Siang itu, Pakde Darman datang berkunjung. Menawarkan beasiswa ke Universitas Al-Azhar, Cairo. Aku tidak tertarik tapi Qasim sangat tertarik. Dia ingin sekali mendapatkan beasiswa itu. Sayangnya, kata pakde beasiswa itu hanya untuk calon mahasiswi, bukan calon mahasiswa. Artinya, aku yang akan didaftarkan beasiswa itu. Qasim kecewa, dia sedih mendengarnya. Aku menghiburnya dengan membantunya mencarikan jalur lain agar ia bisa kuliah di tempat yang sama denganku. Tapi, hingga aku selesai tes untuk masuk universitas pun kami tak kunjung dapat. Jika ingin jalur mandiri, abah dan emak tidak sanggup membiayai. Akhirnya, Qasim memutuskan untuk tidak kuliah. Ujung-ujungnya, dia menjadi guru ngaji di kampung. Cerita setelahnya, aku tidak tau karena sudah terbang ke Cairo.
Aku pikir dia baik-baik saja ketika kutinggal ke Cairo. Tapi ternyata, banyak perubahan yang dia alami, tapi tak pernah kuketahui. Bahkan, dia sampai sudah berani melamar anak Kiai. Aku jadi merasa bersalah padanya. Andai dulu aku berusaha keras mencarikannya beasiswa ke Cairo, dia tak mungkin minum-minum seperti ini. Andai aku selalu mengirim surat tiap bulan, aku pasti tau kondisinya selama ini. Andai tiap dua tahun sekali kusempatkan untuk pulang ke tanah air, tak akan pernah kubiarkan dia kehilangan semangat hidupnya. Ah, tapi apa gunanya berandai-andai. Toh tak mendatangkan keajaiban.
                                                            ###
Sore itu, di akhir bulan Rabiul Awal. Aku sedang menyiram tanaman di halaman depan rumah. Emak dan abah sama-sama pecinta tanaman. Abah juga terkenal sebagai kolektor tanaman hias. Banyak orang-orang kota datang untuk melihat dan ingin membeli. Dari hobi turun ke bisnis, kata abah. 
Kreeekkk...
Pagar kayu setinggi seratus senti meter itu terbuka. Mas Qasim pulang dengan wajah lebam. Dia pura-pura tak melihatku, dan langsung masuk ke dalam rumah. Aku segera mematikan kran, menunda aktifitasku. Kuhampiri dia yang sedang tiduran di kursi tamu sambil memegang wajahnya. Melihat lebam di pipi dan pelipisnya, tanpa berkata apapun aku segera menyiapkan kompres air hangat untuknya. Aku mengompres lukanya pelan-pelan. Dia terus mengaduh kesakitan.
“Kamu habis ngapain lagi to, Mas?” tanyaku lembut.
“Berantemlah. Kamu nggak liat luka-luka ini, ha?” ujarnya kasar. Untung saja emak dan abah pergi pengajian. Kalau tidak, ruang ini akan jadi ruang adu mulut.
“Mas nggak pingin kayak dulu lagi? Ngajar ngaji, jadi imam..”
PLAK!
Aku tersentak. Pipiku ditampar! Aku menghentikan aktifitasku mengompres Qasim. Kusentuh pipiku, panas. Keras sekali tamparannya tadi padaku. Seumur-umur, baru kali ini aku ditampar. Bahkan emak maupun abah tidak pernah menamparku.
“Jangan pernah ungkit-ungkit masa laluku di depanku! Inget itu, Ima!” bentaknya lalu bangkit dari kursi, melempar kompres itu ke wajahku lalu pergi. Aku diam, menangis dalam hati. Tak tau apa yang harus kulakukan. Sudah sebulan aku di rumah, tapi aku belum juga terbiasa dengan sifatnya yang berubah drastis. Ya Allah, kembalikan Mas Qasimku yang dulu... doaku sendu.
                                                            ###
Suatu hari di bulan Rabiul Akhir. Ketika aku akan pergi untuk mengajar ngaji, aku mengintip kamar Qasim. Aku sempat terkejut melihatnya sedang membuka-buka scrap book milikku. Dapat dari mana dia? Hanya itu yang kupikirkan selama perjalanan menuju surau.
“Mbak Ima!!” teriak anak-anak menyambutku di depan pintu surau. Aku tersenyum.
“Assalamualaikum,” sapaku hangat pada mereka.
“Waalaikumussalam..” mereka berebut mencium tanganku.
“Udah-udah, ayo masuk.”
Aku membimbing mereka masuk ke dalam surau. Sebelum aku masuk, kulihat sekilas ada bayangan di balik pohon. Tapi kutepiskan pikiran aneh itu.
                                                            ###
Malamnya, aku mengendap-endap ke kamar Qasim. Ingin kuambil kembali scrap book milikku. Untung waktu itu dia sedang tidak di kamar. Kutelusuri seluruh penjuru kamarnya. Foto-fotonya yang dulu biasa digantungkan di dinding kamarnya sudah disembunyikannya entah di mana. Ah itu dia... Aku mengambil scrap book milikku yang tergeletak di atas bantalnya. Tanpa melihat-lihat kamarnya lagi lebih lama, aku segera berjingkat keluar.
“Ngapain kamu di dalem?” tanya Qasim ketika aku menutup pintu kamarnya. Deg! Aduh, ketahuan...  Aku diam tak berani membalikkan badan.
“Maaf...” ucapku pelan. Sangat pelan.
Tangan kekar itu membalikkan badanku. Aku menunduk, tak berani memandangnya. Tangannya melayang ke atas. Aku memegangi pipiku, takut ditampar lagi. Qasim malah tertawa, lalu mengacak rambutku.
“Lain kali ijin dulu ya, adek manis.”
Ujarnya, lalu masuk kamar dan menutup pintunya. Aku diam. Tertegun, masih tidak percaya. Apa benar tadi Mas Qasim? Ah! Kutepiskan pikiran anehku. Buru-buru kulangkahkan kakiku ke kamar.
                                                            ###
Di penghujung Ramadhan, aku dan Qasim berjalan-jalan di pematang sawah. Kami berbagi cerita, bertukar lelucon, berlari-larian. Hh.. senangnya. Lelah bermain, kami beristirahat di gubuk. Aku duduk sambil mengayun-ayunkan kakiku. Dia duduk di sampingku, sambil menatap indahnya langit senja.
“Sudah hari terakir Ramadhan, Dek.”
“Iya, Mas.”
“Rasanya, kepompongku sudah hampir terbuka.”
“Jadi kupu-kupu deh.”
Dia tertawa.
“Hh.. Dulu aku ulat jelek dan menjijikkan. Untung Allah masih sayang sama aku, ya. Dari kembaranku ini...” dia mengelus kepalaku. “Aku diberi hidayah olehNya,”
Aku tersenyum.
“Itu juga dari niatan mas sendiri, kan.. Aku cuman perantara.”
Aku menyandarkan kepalaku di bahunya.
Alhamdulillah, di penghujung Ramadhan ini aku menemukan sosok masku yang dulu. Mas yang selalu membuat abah, emak, dan aku bangga. Jangan pergi lagi, Mas.. pintaku dalam hati.
                                                            ###
Welcome Muharram, Good Bye Dzulhijjah. Aku sedang membaca diary milik Qasim. Dia memang hobi menulis sejak kelas tiga SD. Tulisannya rapi seperti tulisan perempuan.
 12 Rabiul Awal, Kartasura.
Aku mengambil scrap book milik Ima. Entah kenapa, waktu aku masuk kamarnya yang kuambil buku itu. Padahal tujuanku mengambil uang dalam dompetnya.
Di kamar, kubuka buku itu. Ada banyak fotoku di sana. Melihat foto-foto itu, aku seperti melihat orang asing. Dan bukan diriku. Batin dan pikiranku berkecamuk.
Itu aku, kupu-kupu indah yang sekarang berubah menjadi ulat kecil nan menjijikkan.
Aku membuka kertas yang lain.
29 Rabiul Akhir, Kartasura.
Aku sering diam-diam mengikuti Ima mengajar ngaji di surau. Dia benar-benar terlihat seperti aku. Wajahnya teduh nan bercahaya. Seperti aku yang dulu, bukan yang sekarang.
Aku ingin kembali seperti dulu. Aku ingin kembali padaMu, Allah.
Aku tersenyum membacanya. Jadi sejak itu dia selalu mengikutiku? Ternyata bayangan di balik pohon itu dia. Aku membuka bagian akhir diary.
30 Sya’ban, Kartasura.
Sebentar lagi Ramadhan. Aku harus bisa kembali menjadi kupu-kupu. Setelah menjadi ulat, aku harus menjadi kepompong dulu supaya bisa menjadi kupu-kupu. Bantu aku, Ya Allah..

1 Dzulqaidah, Kartasura.
Mimpi yang indah. Aku bermimpi mencium bau surga.

10 Dzulqaidah, Kartasura.
Mimpi yang indah. Lagi. Mencium bau surga. Bunga kesturi di mana-mana.

15  Dzulqaidah, Kartasura.
Pertandakah ini? Belakangan ini aku jadi lebih rajin pergi ke surau, mengaji dengan Kiai Dalhar, membantu emak dan abah, juga lebih sayang pada Ima. Bukankah orang-orang sholih juga merasakan tandanya? Tapi siapa aku? Aku bukanlah golongan dari mereka.
Aku menutup buku itu. Menghembuskan nafas panjang.
Wahai Tuhan pemilik ampunan, ampuni segala dosaku, dosa kedua orangtuaku, dan dosa saudaraku. Terimalah segala amalnya dan tempatkanlah ia di sisiMu, Ya Allah. Aamiiin.. doaku dalam hati.
                                                            ###
Tepat tanggal sepuluh Dzulqaidah, kami para jamaah sholat idhul adha adalah saksi syahidnya Qasim Hulwan bin Abu Marwan. Air mata kami tumpah ketika melihat sosoknya kaku tak bergerak dalam keadaan sujud. Subhanallah. Aku tak tau, tangis sedih, bahagia, atau bangga untuknya. Tapi yang pasti, aku bangga karena dia khusnul khotimah.
Satu abad sama dengan seratus tahun. Satu dasawarsa sama dengan dua belas tahun. Satu dekade sama dengan sepuluh tahun. Satu windu sama dengan delapan tahun. Satu tahun sama dengan dua belas bulan. Dan tiap tahunku bersamamu adalah hal terindah untukku.
Aku merebahkan tubuhku di rerumputan, tempat anak-anak kampung biasa menggembalakan kambing mereka. Aku sendiri menatap langit malam. Langit malam tanpa bintang. Bulanpun turut bersembunyi di balik awan. Malam yang dingin di awal tahun Hijriah.
“Sudah awal Muharram, Mas. Aku ingin kau di sini bersamaku. Menghabiskan tahun Hijriah dengan suka cita. Banyak hari yang belum kita lalui bersama. Kembalilah, Mas. Maka tak akan ada lagi Hijriahku tanpamu,”
Aku mencium fotonya, kupandangi terus, dan berharap agar dia bisa kembali ke sisiku. Lagi.

Amalia Hanifah L, XII-2
Juara 1 Cerpen 'Muharram Awesome'