Muharram Bunga Krisan



"apakah harus semua masa lalu kau enyahkan?" bisik mama suatu hari. Aku hanya termenung menatap hamparan ilalang hijau. Seolah batin ini merintihmeminta jawaban pada mereka, namun hanyalah hampa yang merasuki telingaku. “mama tidak memintamu menghapus semua” lanjut mama pelan, “biarlah segalanya berjalan semestinya.” Aku hanya mengangguk perlahan, mencerna baik makna mutiara indah dari bibirnya itu.
****
Aku tak mengerti alasan mengapa Kak Fikri begitu jarang mengajakku biara akrab laaknya saudara kandung yang lain. Kita seruah dan sedarah naun terasa begitu sunyi karena nyaris seumur hidup tak pernah kudengar suaranya menyapaku. Biara pun kaku dan lebih banyak menghindar bila aku mendekati atau engajaknya bicara.
“Mama, Kak Fikri kenapa? ” tanyaku suatu hari “kok setiap diajak biara menghindar terus?”
Mama hanya menatapku penuh sayang. “kamu percaya kan kalo Kak Fikri sayang kamu?” dan sebagai gadis kecil polos yang belum mengerti tabiat hati aku hanya mengangguk.
Tahun demi tahun membuai tinggalkan hari, namun sifatnya tak juga berubah dia mulai sering pulang larut malam dan jarang di rumah. Dia datang kala aku telah terlelap dan pergi sebelum aku menyambut pagi kembali. Tiap kutanya “mau pergi kemana kak?” dia hanya berujar “kuliah.”
Kendati sifatnya amat menjengkelkan. Kuccoba selalu berbaik sangka kalau dia benar sayang padaku kuoba engajaknya biara sesering mungkin agar keakraban semakin semakin tercipta. Namun penyakitnya itu sudah keterlaluan. Dan lagi, masih ada satu hal yang ingin kudapat darinya. Dan inilah yang buatku iri pada pasangan saudara lainya. KASIH SAYANG. Maka suatu hari kutahan ia unntuk pergi dan mengajaknya bicara. Di ruang keluarga kami duduk berhadapan.
“Kak harus segitu dinginya sama aku?”
Kak Fikri hanya diam dan sesekali menatapku. Wajahnya yang cukup tampan berekspresi datar.
“Jawab aku, Kak.” Desakku pelan “Sikap kakak buat aku kesal!”
Kakak menghela nafas panjang dan memejamkan mata. Ia membasahi bibirnya untuk ancang-ancang bicara,
“A..ku,”
“Apa salahku hingga kehadiranku hanya kakak anggap hampa?” sanggahku cepat, Ia kembali diam.
“Jujur Kak, aku iri dengan teman-teman yang begitu harmonis sama kakaknya. Aku ingin, Kak! Bahkan aku bahagia menerima kenyataan memiliki saudara seshalih dan setampan kakak. Namun tahu kalau kakak sangat kaku walau sekedar menyapa, aku pikir…” suaraku tercekat, “kakak menyesali kita sedarah!”
Bibirnya tergerak-gerak sebentar namun terdiam lagi
“Aku nggak tahu.” Ujarnya pendek.
“Apa maksud kakak?” suaraku gemas.
“Tidak mau atau memang tidak tahu?”
Beberapa detik kebisuan tercipta dan tidak ada yang mau mengawali pembicaraan. Lalu…
“Tidak mau tahu.”
Ia pun menghilang dibalik pintu.
***
“Mama, mengapa mama memberiku nama krisan?”
Mama menoleh, kaget dengan pertanyaanku. Namun senyumnya muncul kembali. “Setiap nama adalah do’a, Sayang. Orangtua tidak mungkin memberi anaknya nama yang buruk.”
“Apa makna namaku, Ma?” Mama menghela nafas.
“Dulu waktu kau lahir kakaku menghampiri mama sambil menangis. Dia engadu kalau ia selalu diejek temanya di pesantren. Teman-temanya mengatai, bani dan pengeut. Jujur, hati mama hancur karena tidak terima. Lalu kakakmu meminta mama mendo’akanmu agar kau tidak bernasib sepertinya.”
Aku terdiam, terpesona cerita mama.
“Tepat dihari ketujuh kelahiranmu, mama menamaimu Krisan. Dengan harapan kau kelak dapat menjadi perlambang kebahagiaan, perdamaian, dan persahabatan. Seperti permintaan kakakmu.”
Aku terpaku mendengarnya. Tak kusangka naaku adalah tanda cinta dari kakakku. Nama yang diberikan mama untuk menjawab permohonan kakakku. Terjawab sudah fakta Kak Fikri menyayangiku
“Jangan risau kalau dia tak pernah bisa terbuka denganmu,” kata mama seolah mengerti isi hatiku. “Trauma masa lalunya akan segera berakhir”
Aku pun memeluknya. “Ma, bisakah aku sebahagia namaku?” Mama mengeup keningku.
***
Muharram hanya tinggal menghitung jam sejak sore mama telah repot menyiapkan hidangan untuk pengajian akbar nanti malam. Anak-anak TPA sibuk mengumpulkan buluh bambu yang disulap menjadi obor. Rencananya akan ada pawai besar enyabut bulan penuh makna untuk umat islam ini. Namun menjelang maghrib, nampak Kak Fikri berjalan menggendong tas ransel besar seperti baisanya. Ia menuju rak sepatu dan memakai salah satu sepatunya.
“Kak mau kemana lagi? Malam Muharram sama keluarga aja, Kak.”
Ia menoleh sedikit, “Ada acara di kapus nggak bisa ditinggal.” Aku engangguk paha
“Hati-hati di jalan,.. Kak,” ujarku sembari membalikkan badan untuk kembali ke kamar. Ia memanggul ranselnya dan besiap pergi, namun gerakanya tertahan saat akan membuka pintu.
“Krisan…”
Langkahku tersendat, rasanya ingin kuulangi detik-detik yang baru saja pergi aku bahkan melongo tak percaya inilah pertama kalinya ia menyebut namaku kubalikkan badan dan menatap wajah teduhnya
“I… iya, Kak?”
Ia mendekat dan mengulurkan tanganya. Hal yang seumur hidup baru dilakuanya padaku. Air mataku mulai meluruh tanda pecahnya kebahagiaanku. Kuciu punggung tanganya dala-dala sepenuh rindu. Tangisku tercurah disana.
“Kakak…” ia menghela nafas “sayang kamu.. Krisan,” tangisku makin deras. Inilah sejarah membahagiakan dalam hidupku.
“Krisan juga sayang Kakak.” Ujarku bergetar.
“Do’akan kakak baik-baik saja.” Tambahnya.
Puas menangis, kulepaskan tanganya dan melepas langkahnya.
***
“Ayo pulang.” Bujuk mama padaku. Ternyata lebih dua jam aku mem-flashback kenangan indah pertama dengan Kak Fikri. Sore mulai merangkak dan sang surya mulai kembali ke singgasana. Masih terngiang jelas dalam ingatanku. Rahman, sahabat Kak Fikri menelfonku dengan berita yang mengguncang “Kakakmu meninggal tertabrak mobil.”
Tepat ditengah malam Muharram, kakakku yang akan menyebrang ke kampus disrempet mobil berkecepatan tinggi karena dikejar mobil polisi. Pendarahan hebat di otaknya membuat ia tak tertolong.
“Ayo pulang..” bujuk mama lagi. “Masa lalu tak harus kau lupakan seuanya. Sisakan seuil untuk kenangan dan pelajaran hidupmu.” Mama merangkulku. “Ia tak enyesal kalian sedarah.”
Aku mulai erdiri dan menatap lagi padang ilalang di hadapanku. Dibawah pohon kamboja itulah kakakku beristirahat dengan tenang. MUHAMMAD FIKRI ZUKRULLAH. Ukiran yang masih enggan hengkang dari tatapanku. Muharram perpisahan itu memberi kenangan yang tak tergantikan. Saat itulah kurasai betapa dalamnya kasih sayang Kak Fikri padaku.
“Kakak sayang kamu, Krisan”
Pernyataan itu membuat air mataku meluruh kembali.
“Aku sayang kakak juga.”
Dinginya sore semakin menggigit.
Gustya Reformasi C.H/XII-2
Juara II Cerpen ‘Muharram Awesome’